Minggu, 27 Desember 2009

Apakah Pengelolaan Perikanan Itu?

Menurut Panduan Kegiatan Terbaik mengenai Standar Inti bagi Pengumpulan, Penangkapan dan Penyimpanan Ikan tahun 2001, pengelolaan perikanan adalah suatu proses terpadu
yang mencakup setiap aspek penangkapan ikan. Proses tersebut meliput kegiatan yang berawal dari pengumpulan dan analisis informasi, perencanaan, pengambilan keputusan,
pemanfaatan sumberdaya, dan perumusan tindakan penegakan peraturan di bidang pengelolaan perikanan. Tindakan penegakan ini dilaksanakan oleh pihak yang berwenang sehingga dapat mengendalikan perilaku pihak yang berkepentingan. Hal ini ditujukan bagi terjaminnya
kelangsungan produktivitas perikanan dan kesejahteraan sumberdaya alam hayati di wilayah pesisir dan laut.

Cara penangkapan ikan yang merusak, dapat didefinisikan sebagai kegiatan penangkapan ikan yang menimbulkan kerusakan secara langsung, baik terhadap habitat (tempat
hidup dan berkembang biak) ikan maupun terhadap organisme utama yang berperan penting dalam membangun suatu habitat (contohnya adalah karang pembangun terumbu
-> scleractinian, dalam ekosistem terumbu karang, -> lihat Panduan Pengenalan Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Lainnya).

Penangkapan ikan dengan cara yang merusak secara umum dipicu oleh tingginya permintaan konsumen untuk pasar perdagangan ikan, terutama ikan hidup. Konsumen dan pasar
diperdagangkan tersebu ditangkap. Selain itu, kondisi masyarakatini berdaya amat kuat dalam mengendalikan harga ikan hidup tersebut, di samping kurangnya informasi dan rendahnya kesadaran konsumen mengenai bagaimana ikan-ikan yang penangkap ikan yang miskin dan kurang sejahtera, mendorong mereka untuk mencari cara untuk mendapatkan uang yang banyak dalam waktu yang singkat dan mudah. Dengan cara-cara penangkapan ikan yang merusak, para penangkap ikan (nelayan) dapat meraih hasil yang banyak dalam waktu yang singkat. Kurangnya pemahaman mengenai siklus hidup ikan dan ekosistem yang mendukungnya (yang menjadi tempat tinggal dan berkembang biak) serta kurangnya penegakan hukum bagi penangkapan ikan yang merusak ini mempersulit perbaikan kondisi perikanan (terutama perikanan karang) yang mulai dirasakan oleh para penangkap ikan.

Penangkapan ikan yang merusak merupakan ancaman yang paling besar bagi kelestarian ekosistem pesisir dan laut di Indonesia, khususnya di Kabupaten Raja Ampat, Biak Numfor, Sikka, Buton, Wakatobi, Pangkajene Kepulauan, dan Selayar, terutama ekosistem terumbu karang. Berikut ini adalah beberapa cara penangkapan ikan yang merusak. Dari sini dapat kita
lihat bagaimana praktek penangkapan ikan yang merusak tersebut dapat menghancurkan sumberdaya perikanan kita, yang sangat kita butuhkan bagi kesejahteraan kita sendiri.

A. Cara penangkapan ikan yang merusak


1. Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak
a. Awalnya, penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak diperkenalkan di Indonesia
pada masa perang dunia ke dua. Penangkapan ikan dengan cara ini sangat banyak digunakan,
sehingga sering dianggap sebagai cara penangkapan ikan “tradisional” (Pet-Soede dan
Erdmann, downloaded 30 October 2006, 09.18, http://www.spc.int/coastfish/news/LRF
/4/erdmann.htm).

b. Meskipun peledak yang digunakan berubah dari waktu ke waktu hingga yang paling
sederhana yaitu dengan menggunakan minyak tanah dan pupuk kimia dalam botol, cara
penangkapan yang merusak ini pada dasarnya sama saja. Para penangkap ikan mencari
gerombol ikan yang terlihat dan didekati dengan perahunya. Dengan jarak sekitar 5 meter,
peledak yang umumnya memiliki berat sekitar satu kilogram ini dilemparkan ke tengah
tengah gerombol ikan tersebut. Setelah meledak, para nelayan tersebut memasuki wilayah
perairan untuk mengumpulkan ikan yang mati atau terkejut karena gelombang yang
dihasilkan ledakan dengan menyelam langsung atau dengan menggunakan kompresor.
Ledakan tersebut dapat mematikan ikan yang berada dalam 10 hingga 20 m radius peledak
dan dapat menciptakan lubang sekitar satu hingga dua meter pada terumbu karang tempat
ikan tersebut tinggal dan berkembang biak.











Menangkap ikan dengan menggunakan bom bom ikan


c. Para penangkap ikan yang menggunakan cara peledakan biasanya mencari ikan yang
hidupnya bergerombol. Ikan-ikan karang yang berukuran besar seperti bibir tebal dan
kerapu yang biasa hidup di bawah terumbu karang menjadi sasaran utamanya. Ikan ekor
kuning hidup di sepanjang tubir, atau ikan kakaktua dan kelompok ikan surgeonfish, juga
menjadi sasaran peledakan. Karena besarnya gelombang ledakan, terkadang ikan yang ada di
tepi perairan terbuka pun sering menjadi sasaran. Ikan-ikan tersebut antara lain ikan
mackerel dan ikan sarden.

d. Terumbu karang yang terkena peledakkan secara terus menerus, seringkali tinggal
puing-puing belaka. Terumbu karang dalam yang rusak ini sulit sekali untuk dipulihkan,
karena kondisinya yang berupa puing dan tidak stabil, di atas substrat seperti ini larva
karang sulit untuk tumbuh dan berkembang biak (lihat Buku Panduan Mengenai Ekosistem
Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Lainnya). Selain itu, terumbu karang mati ini tidak
lagi menarik bagi ikan dewasa yang berpindah dan mencari tempat tinggal untuk
membesarkan anakan ikannya, sehingga menurunkan potensi perikanan di masa datang.
Selain itu, peledakan terumbu karang juga menyebabkan banyaknya ikan dan organisme
yang hidup dalam komunitas terumbu karang tersebut, yang bukan merupakan sasaran
penangkap ikan, turut mati.

d. Penangkapan ikan dengan peledak seperti ini merupakan tindakan yang melanggar hukum
dan lebih banyak dijumpai di wilayah Indonesia timur. Hal ini karena populasi manusia yang
lebih rendah menyebabkan berkurangnya peluang untuk tertangkap oleh patroli polisi lebih
kecil. Selain itu, di perairan wilayah barat Indonesia menunjukkan ketersediaan
ikan yang telah sangat berkurang, sehingga menangkap ikan dengan menggunakan peledak
tidak lagi menguntungkan (Pet-Soede dan Erdmann, downloaded 30 October 2006, 09.18,
http://www.spc.int/ coastfish/news/LRF/4/erdmann.htm).

2. Menggunakan Racun Sianida

a. Penggunaan racun sianida ini (sodium sianida) yang dilarutkan dalam air laut banyak
digunakan untuk menangkap ikan atau organisme yang hidup di terumbu karang dalam
keadaan hidup. Racun sianida yang sering disebut sebagai “bius” biasanya merupakan cara
favorit untuk menangkap ikan hias, ikan karang yang dimakan (seperti keluarga kerapu
dan Napoleon wrasse), dan udang karang (Panulirus spp.).

b. Pada dasarnya, penangkapan ikan seperti ini melibatkan penyelam langsung atau
menggunakan kompresor yang membawa botol berisi cairan sianida dan kemudian
disemprotkan ke ikan sasaran untuk mengejutkannya. Dalam jumlah yang memadai, racun ini
membuat ikan atau organisme lain yang menjadi sasaran "terbius" sehingga para
penangkap ikan dengan mudah mengumpulkan ikan yang pingsan tersebut. Seringkali, ikan
dan udang karang yang menjadi target lalu bersembunyi di dalam terumbu, dan para
penangkap ikan ini membongkar terumbu karang untuk menangkap ikan tersebut.

c. Cairan sianida yang digunakan untuk menangkap ikan berukuran besar, biasanya berupa
larutan pekat yang dapat mematikan sejumlah organisme yang hidup di terumbu karang,
termasuk ikan-ikan kecil, invertebrata yang bergerak, dan yang paling parah, racun sianida
juga mematikan karang keras.

d. Racun sianida, bukan saja mencemari ekosistem terumbu karang yang dapat mematikan
organisme yang tidak menjadi sasaran. Terumbu karang dapat rusak karena dibongkar oleh
para penangkap ikan untuk mengambil ikan yang terbius tersebut di rongga-rongga di dalam
terumbu. Selain itu, dalam jangka waktu yang lama, ekosistem yang terkena racun sianida
yang terus menerus dapat memberikan dampak buruk bagi ikan dan organisme lain dalam
komunitas terumbu karang, juga bagi manusia.


Menangkap ikan dengan racun sianida

3. Bubu

a. Alat tangkap Bubu adalah jerat yang terbuat dari anyaman bambu yang banyak digunakan di
seluruh Indonesia. Belakangan ini, Bubu kembali popular karena digunakan untuk
penangkapan ikan perdagangan ikan karang hidup.

b. Meskipun pada dasarnya alat ini tidak merusak, namun pemasangan dan pengambilannya
sering kali merusak terumbu karang. Bubu biasanya dipasang dan diambil oleh para
penangkap ikan dengan cara menyelam dengan menggunakan kompresor. Dibandingkan
dengan penangkapan yang merusak lainnya, Bubu tidak terlalu merusak karena biasanya
diletakkan di dasar lereng terumbu. Seringkali, perangkap tersebut disamarkan oleh
pecahan-pecahan karang hidup.

c. Ada pula perangkap yang dipasang dari perahu dan diikat dengan tali yang dipancangkan.
Bubu seperti inilah yang sering merusak terumbu karang. Hal ini karena Bubu dipasangi
pemberat yang saat ditenggelamkan dari perahu menabrak percabangan terumbu karang.
Bubu seperti ini terutama merusak terumbu karang pada saat Bubu ditarik oleh tali
pemancang untuk mengangkatnya. Bila penggunaan Bubu seperti ini terus meningkat,
terutama untuk menangkap Ikan Kerapu, kegiatan penangkapan dengan alat Bubu akan
menjadi sumber kerusakan terumbu karang di Indonesia.


alat tangkap bubu


4. Pukat Harimau


a. Pukat Harimau merupakan cara penangkapan yang merusak lainnya. Pukat Harimau merusak terumbu karang, karena biasanya digunakan di dasar (substrat) yang lunak untuk menjaring udang. Pukat Harimau dilarang digunakan di Indonesia karena jaring/pukat ini dapat merusak hamparan laut dan menangkap organisme yang bukan sasaran penangkapan (by-catch). Namun demikian, meskipun kini penangkap ikan dengan Pukat Harimau jarang dijumpai, kegiatan ini masih ditemukan, terutama di wilayah perbatasan.

b. Berdasarkan definisinya, Pukat Harimau tidak termasuk dalam jenis alat tangkap ikan yang merusak. Namun demikian alat tangkap ini memberikan pengaruh yang luar biasa buruk terhadap sumberdaya laut khususnya terumbu karang, karena kemampuannya mengeruk
sumberdaya perikanan tersebut. Sebagai contoh, pukat harimau dengan model yang baru, yang dioperasikan di Selat Lembeh pada tahun 1996 hingga 1997 selama 11 bulan. Pukat ini menggunakan jerat-jaring yang sangat besar dan menangkap 1,400 Ikan Pari (Manta), 750 Marlin, 550 Paus, 300 Ikan Hiu (termasuk Hiu Paus), dan 250 Lumba-lumba (Pet-
Soede dan Erdmann, downloaded 30 October 2006, 09.18, http://www.spc.int/coastfis /news/LRF/4/erdmann.htm). Dampak penangkapan ikan dengan menggunakan pukat tersebut terhadap kegiatan ekowisata mulai terasa, karena berkurangnya kelimpahan organisme laut yang menjadi modal utama industri ekowisata ini.

5. Pukat Dasar
a. Pukat Dasar/Lampara Dasar dianggap sebagai salah satu penyebab berkurangnya ketersediaan ikan di Indonesia. Hal ini karena Pukat Dasar yang sering digunakan untuk menangkap udang, juga "menangkap" ikan dan organisme lain serta karena mobilitasnya dapat mengeruk dasar laut sehingga menimbulkan kerusakan ekosistem yang parah.

b. Pukat Dasar berinteraksi secara langsung dengan sedimen dasar yang dapat menyebabkan hilang atau rusaknya yang organisme hidup tidak bergerak seperti rumput laut dan terumbu karang. Pukat Dasar, dengan kemampuan pengerukkannya, dapat pula membongkar terumbu karang atau batu dalam ukuran besar. Di dasar yang berpasir atau berlumpur, Pukat ini dapat memicu kekeruhan yang tinggi dan berakibat buruk bagi kelangsungan hidup terumbu karang.

c. Terhadap jenis (spesies), kerugian utama yang ditimbulkan Pukat Dasar adalah tertangkapnya organisme kecil dan jenis-jenis yang bukan sasaran penangkapan (non-target), yang biasanya dibuang begitu saja di laut. Dampak terhadap spesies ini dapat dikurangi denan menggunakan jaringdengan ukuran tertentu yang dapat mengurangi peluang tertangkapnya
organisme yang berukuran kecil.

Alat Tangkap Ikan yang Ramah
Lingkungan


Seperti telah dijelaskan dalam pendahuluan, Indonesia sangat tergantung pada sektor perikanan, baik sebagai penghasil devisa negara, maupun sebagai pemasok protein bagi penduduk Indonesia. Karenanya, segala bentuk kegiatan penangkapan ikan yang merusak tidak lagi dilakukan. Sebagai sumberdaya alam yang pulih, ikan dapat dipanen terus menerus bila kita bijak dalam melakukan kegiatan perikanan tersebut. Hal ini harus terus menerus didorong karena perikanan yang ramahlingkungan dapat memberikan sumbangan sosial dan ekonomi
yang sangat penting bagi kita semua.

Food Agriculture Organization (FAO, sebuah lembaga di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa yang menangani masalah pangan dan pertanian dunia), pada tahun 1995 mengeluarkan
suatu tata cara bagi kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab (Code of Conduct for Resposible Fisheries- CCRF). Dalam CCRF ini, FAO menetapkan serangkaian kriteria
bagi teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan. Sembilan kriteria tersebut adalah sebagai berikut:

a. Alat tangkap harus memiliki selektivitas yang tinggi
Artinya, alat tangkap tersebut diupayakan hanya dapat menangkap ikan/organisme lain yang menjadi sasaran penangkapan saja. Ada dua macam selektivitas yang menjadi subkriteria, yaitu selektivitas ukuran dan selektivitas jenis. Subkriteria ini terdiri dari (yang paling rendah hingga yang paling tinggi):
1. Alat menangkap lebih dari tiga spesies dengan ukuran yang berbeda jauh
2. Alat menangkap paling banyak tiga spesies dengan ukuran yang berbeda jauh
3. Alat menangkap kurang dari tiga spesies dengan ukuran yang kurang lebih sama
4. Alat menangkap satu spesies saja dengan ukuran yang kurang lebih sama.

b. Alat tangkap yang digunakan tidak merusak habitat, tempat tinggal dan berkembang biak ikan dan organisme lainnya

Penangkapan Ikan yang Merusak). Ada pembobotan yang digunakan dalam kriteria ini yang ditetapkan berdasarkan luas dan tingkat kerusakan yang ditimbulkan alat penangkapan. Pembobotan tersebut adalah sebagai berikut (dari yang rendah hingga yang tinggi):
1. Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang luas
2. Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang sempit
3. Menyebabkan sebagaian habiat pada wilayah yang sempit
4. Aman bagi habitat (tidak merusak habitat)

c. Tidak membahayakan nelayan (penangkap ikan)

Keselamatan manusia menjadi syarat penangkapan ikan, karena bagaimana pun, manusia merupakan bagian yang penting bagi keberlangsungan perikanan yang produktif. Pembobotan resiko diterapkan berdasarkan pada tingkat bahaya dan dampak yang mungkin dialami oleh nelayan, yaitu (dari rendah hingga tinggi):
1. Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat kematian pada nelayan
2. Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat cacat menetap (permanen) pada
nelayan
3. Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat gangguan kesehatan yang sifatnya
sementara
4. Alat tangkap aman bagi nelayan

d. Menghasilkan ikan yang bermutu baik

Jumlah ikan yang banyak tidak banyak berarti bila ikan-ikan tersebut dalam kondisi buruk. Dalam menentukan tingkat kualitas ikan digunakan kondisi hasil tangkapan secara morfologis (bentuknya). Pembobotan (dari rendah hingga tinggi) adalah sebagai berikut:
1. Ikan mati dan busuk
2. Ikan mati, segar, dan cacat fisik
3. Ikan mati dan segar
4. Ikan hidup

e. Produk tidak membahayakan kesehatan konsumen

Ikan yang ditangkap dengan peledakan bom pupuk kimia atau racun sianida kemungkinan tercemar oleh racun. Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasarkan tingkat bahaya yang mungkin dialami konsumen yang harus menjadi pertimbangan adalah (dari rendah hingga tinggi):
1. Berpeluang besar menyebabkan kematian konsumen
2. Berpeluang menyebabkan gangguan kesehatan konsumen
3. Berpeluang sangat kecil bagi gangguan kesehatan konsumen
4. Aman bagi konsumen

f. Hasil tangkapan yang terbuang minimum

Alat tangkap yang tidak selektif (lihat butir 1), dapat menangkap ikan/ organisme yang bukan sasaran penangkapan (non-target). Dengan alat yang tidak selektif, hasil tangkapan yang terbuang akan meningkat, karena banyaknya jenis non-target yang turut tertangkap. Hasil tangkapan nontarget, ada yang bisa dimanfaatkan dan ada yang tidak. Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasarkan pada hal berikut (dari rendah hingga tinggi):
1. Hasil tangkapan sampingan (by-catch) terdiri dari beberapa jenis (spesies) yang tidak laku
dijual di pasar
2. Hasil tangkapan sampingan (by-catch) terdiri dari beberapa jenis dan ada yang laku dijual di
pasar
3. Hasil tangkapan sampingan (by-catch) kurang dari tiga jenis dan laku dijual di pasar
4. Hasil tangkapan sampingan (by-catch) kurang dari tiga jenis dan berharga tinggi di pasar.

g. Alat tangkap yang digunakan harus memberikan dampak minimum terhadap keanekaan sumberdaya hayati (biodiversity)

Pembobotan criteria ini ditetapkan berdasasrkan pada hal berikut (dari rendah hingga tinggi):
1. Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian semua mahluk hidup dan merusak
habitat
2. Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian beberapa spesies dan merusak habitat
3. Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian beberapa spesies tetapi tidak merusak
habitat
4. Aman bagi keanekaan sumberdaya hayati

h. Tidak menangkap jenis yang dilindungi undang-undang atau terancam punah

Tingkat bahaya alat tangkap terhadap spesies yang dilindungi undangundang ditetapkan berdasarkan kenyataan bahwa:
1. Ikan yang dilindungi sering tertangkap alat
2. Ikan yang dilindungi beberapa kali tertangkap alat
3. Ikan yang dilindungi "pernah" tertangkap
4. Ikan yang dilindungi tidak pernah tertangkap

i. Diterima secara sosial

Penerimaan masyarakat terhadap suatu alat tangkap, akan sangat tergantung pada kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di suatu tempat. Suatu alat diterima secara sosial oleh masyarakat bila:
(1) biaya investasi murah,
(2) menguntungkan secara ekonomi,
(3) tidak bertentangan dengan budaya setempat,
(4) tidak bertentangan dengan peraturan yang ada. Pembobotancriteria ditetapkan dengan
menilai kenyataan di lapangan bahwa (dari yang rendah hingga yang tinggi):
- Alat tangkap memenuhi satu dari empat butir persyaratan di atas
- Alat tangkap memenuhi dua dari empat butir persyaratan di atas
- Alat tangkap memenuhi tiga dari empat butir persyaratan di atas
- Alat tangkap memenuhi semua persyaratan di atas

Bila ke sembilan kriteria ini dilaksanakan secara konsisten oleh semua pihak yang terlibat dalam kegiatan perikanan, dapat dikatakan ikan dan produk perikanan akan tersedia untuk dimanfaatkan oleh kita dan generasi anak cucu kita. Hal yang penting diingat adalah bahwa generasi saat ini (baca: kita) memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa kita tidak mengurangi ketersediaan ikan bagi generasi yang akan datang dengan pemanfaatan sumberdaya ikan yang ceroboh dan berlebihan. Perilaku yang bertanggungjawab ini dapat menghasilkan peningkatan ketersediaan ikan, yang kemudian akan memberikan sumbangan yang penting bagi ketahanan pangan, dan peluang pendapatan yang berkelanjutan.


Alat Tangkap yang ramah dan tidak ramah lingkungan
1. Penangkapan ikan hias

a. Ikan hias merupakan salah satu sumberdaya ekosistem terumbu karang yang berperan penting dalam kegiatan ekonomi di wilayah pesisir dan laut. Penangkapan ikan hias ini sering kali menggunakan racun sianida karena kemudahannya mendapatkan racun sianida serta kepastian mendapatkan hasil yang tinggi. Seperti telah dijelaskan di muka, menggunakan racun sianida untuk menangkap ikan karang dapat berakibat buruk bukan saja pada ikan itu sendiri, tetapi juga pada terumbu karang yang terkena racun, serta pada manusia yang menyemprotkan racun tersebut dan yang memakannya (untuk ikan karang yang dimakan).

b. Masalah yang sering terjadi dalam kegiatan penangkapan ikan hias laut yang berasal dari terumbu karang adalah tingginya tingkat kematian Mengapa ikan hias hasil tangkapan tersebut mudah mati? Ada beberapa sebab yang sering menjadi sumber kematian ikan hias tersebut, dan
kesemua ini berkaitan dengan prinsip penangkapan ikan hias ramah lingkungan.

c. Penyebab matinya ikan hias hasil tangkapan:
- Penggunaan racun sianida/potassium yang berlebihan
- Teknik dekompresi yang kurang tepat
- Kurangnya oksigen saat penyimpanan
- Ikan teracuni oleh amoniak buangan ikan yang tercampur dalam
- Terlalu banyak ikan dalam satu wadah penyimpanan
- Ikan terjemur sinar matahari
- Prosedur penangan dan pengangkutan yang kurang baik

Dalam kegiatan penangkapan ikan hias di terumbu karang yang ramah lingkungan, ada serangkaian kriteria yang harus dilaksanakan. Penangkapan ikan hias ramah lingkungan mencakup:
- Tata cara penangkapan
- Penanganan dan penyimpanan
- Persyaratan lain yang berkaitan dengan perawatan dan prinsip-prinsip

praktis yang perlu diketahui sehingga kegiatan penangkapan ikan hias dari terumbu karang ini dapat berkelanjutan. Selain itu, ada serangkaian alat tangkap yang diperlukan bagi ikan hias yang ramah lingkungan ini. Alat dan bahan tersebut antara lain:
- Jaring penghalang
- Serok
- Ember dekompresi

Prinsip utama yang harus diperhatikan dalam pengumpulan ikan dari laut
adalah sebagai berikut:
Persyaratan umum penanganan, penyimpanan, dan penangkaran:

a. Ikan dari lokasi yang berlainan tidak boleh dicampur dalam suatu wadah yang sama

b. Perjalanan pengumpulan dan penangkapan yang singkat (tidak terlalu lama)

c. Penangkapan harus selalu menggunakan ember yang mengapung

d. Setelah pengumpulan dan penangkapan, ikan harus ditandai dengan informasi mengenai:
- Penangkap
- Pengumpul
- Lokasi penangkapan
- Lokasi pengumpulan
- Tanggal dan jam penangkapan

e. Kualitas dan suhu air dalam wadah yang harus dijaga, antara lain dengan
cara:
- Menempatkan wadah di tempat yang teduh dan mengganti air dengan air laut yang
bersih/segar

- Menghindari penggantian air yang terlalu sering dan ceroboh serta keteduhan yang
berubah-ubah

- Memastikan periode penyimpanan antara penangkapan dan pemngiriman yang singkat
kepada pembeli yang mampu melakukan penyesuaian suhu yang tepat

Penanganan dan Penyimpanan

a. Jangan memegang ikan saat menangani ikan

b. Gunakan serok (lihat bagian berikutnya untuk cara pembuatan) dengan hati-hati

c. Serok harus terbuat dari bahan yang lembut dan bermata jaring kecil

d. Kantong plastik dan toples penyimpanan sebaiknya tidak dibiarkan terkena panas matahari
langsung

e. Lindungi tempat penyimpanan dengan kotak atau terpal hitam

f. Ember bisa digunakan sebagai alat penyimpanan sementara dan dekompresi

g. Bila menggunakan ember dan botol sebagai tempat penyimpanan, maka hal berikut harus
menjadi perhatian:
- Ember dan/atau botol harus disimpan dalam laut dengan kedalaman 3 dengan sirkulasi air
yang baik
- Direndam dalam air laut yang baru/segar setelah pengapalan
- Ikan harus segera direndam dalam air laut yang baru/segar bila dalam ember/botol
penyimpanan ada organisme yang mati.

h. Bila menggunakan kantong plastik sebagai tempat penyimpanan atau untuk pengiriman,
maka harus diperhatikan hal berikut:
- Kantong plastik harus memiliki ukuran yang cukup bagi ikan sehingga ikan tersebut dapat
bergerak bebas
- Gunakan kantong plastik yang bersih/baru
- Gunakan satu kantong plastik untuk satu ekor ikan saja
- Usahakan penggantian air untuk menjaga kesegaran ikan
- Kantong plastik berisi ikan harus disimpan di tempat teduh dan sejuk
- Kantong plastik tidak boleh digunakan untuk menyimpan ikan lebih dari 24 jam

i. Jangan menuangkan ikan langsung dari atas ke wadah penyimpanan (ember/toples).
Masukkan serok ke dalam air, kemudian baru ikan dilepaskan

j. Jangan biarkan ikan berada terlalu lama di luar air, upayakan ikan selalu berada di dalam air
dan kemudian pindahkan ke wadah yang tersedia

k.Jangan menaruh ikan dalam kantong plastik dan/atau toples yang tertutup tanpa lubang

l. Usahakan agar ikan-ikan yang ditangkap dari dalam laut disimpan dalam toples yang tutupnya
berlubang dan diletakkan dalam air laut yang dangkal

m. Usahakan agar mengganti air secara teratur dan dengan hati-hati. Ikan dapat mengalami
stress dengan penggantian air yang tergesa-gesa dan ceroboh

n. Sebelum diangkut dengan kapal, jaga agar ikan dalam toples yang berlubang tersebut dapat
disimpan di dasar laut dekat pantai selama tiga hingga 5 hari sehingga saat pengangkutan
usus ikan-ikan tersebut kosong

o. Kecuali untuk jenis-jenis yang biasa hidup berdua atau lebih, usahakan hanya menempatkan
satu ikan dalam satu toples

p. Usahakan agar ikan tidak kelaparan

q. Jangan menusuk gelembung ikan saat ikan ditangkap

r. Angkut ikan-ikan dengan kapal seminggu setelah penangkapan dengan menggunakan toples
yang tutupnya berlubang

s. Periksa kondisi ikan setiap hari dan buang ikan/organisme lain yang mati

t. Dekompresi ikan selama 24 jam dalam toples yang tutupnya berlubang di kedalaman tiga
hingga lima meter.

Pencatatan
a. Para pengumpul dan penangkap ikan harus selalu mencatat dengan benar dan tepat hal yang
berkaitan dengan kematian pada setiap tahap proses dari penangkapan, penyimpanan, hingga
pengangkutan/ pengiriman. Catatan ini dapat disimpan sebagai jurnal atau buku log.

b. Dokumentasi, seperti telah disampaikan di muka harus mencakup:
- Jenis/spesies
- Lokasi pengambilan
- Lokasi pengangkutan
- Lokasi tujuan pengiriman
- Tanggal pengambilan/penangkapan
- Tanggal pengangkutan
- Tanggal tiba di tempat pengiriman
- Nama penangkap
- Catatan kematian saat kedatangan atau setelah kedatangan

Dengan melaksanakan prinsip penangkapan ikan hias ramah lingkungan, kita
bisa memastikan bahwa hasil tangkapan kita bermutu tinggi, kuat, dan
bernilai ekonomi tinggi.

2. Pukat Udang
a. Pukat udang dioperasikan di Indonesia setelah adanya pelarangan penggunaan trawl melalui
Keppress No. 39 tahun 1980 (Baskoro, 2006). Seperti terlihat dengan jelas dari namanya,
alat ini terutama digunakan untuk menangkap udang, selain juga ikan yang ada di perairan
dasar (demersal).

b. Alat ini dioperasikan dengan cara ditarik pada dasar perairan oleh satu atau dua kapal
(di samping atau di belakang kapal) dalam jangka waktu tertentu. Jaring ditarik secara
horizontal (mendatar) di dalam air. Alat ini dilengkapi dengan papan pembuka mulut jaring
(otter board) yang membuat mulut jaring terbuka selama kegiatan penangkapan dilakukan.

c. Pukat memiliki jaring yang berbentuk kerucut dan terdiri atas tiga bagian. Bagian-bagian
tersebut adalah:


Pukat Dasar

- Dua lembar sayap (wing)
- Tali penarik sebagai penghubung ke dua sayap di atas (warp)
- Badan (body)
- Kantong (codenc)
- By-catch Excluder Device/BED (alat penangkal hasil samping) BED adalah bingkai berjeruji
yang dipasang antara bagian badan dan kantong. BED berfungsi sebagai penyaring dan/atau
alat yang meloloskan ikan yang bukan menjadi sasaran utama penangkapan (ikan target). BED
merupakan komponen kunci yang menjadikan Pukat Udang termasuk ke dalam alat tangkap
ramah lingkungan) karena memberikan nilai selektivitas yang tinggi.

3. Pukat Cincin

a. Alat ini ditujukan sebagai penangkap ikan pelagis yang bergerombol di permukaan

b. Pada umumnya, alat ini berbentuk empat persegi panjang dilengkapi yang dilwatkan melalui
cincin yang diikatkan pada bagian bawah jaring (tali ris bawah. Dengan menarik tali kerucut
bagian bawah ini, jaring dapat dikuncupkan (lihat gambar) dan jaring akan membentuk
semacam "mangkuk".

c. Perlu diperhatikan, penggunaan alat tangkap ini hanya untuk ikan pelagis yang bergerombol
di laut lepas.

d. Bila alat ini digunakan untuk ikan demersal (di dasar perairan), maka pukat cincin akan
merusak terumbu karang.


Pukat Cicin
4. Pukat Kantong

a. Pukat kantong dioperasikan dengan melingkari daerah perairan untuk menangkap ikan yang
berada di permukaan (pelagik) dan ikan di dasar perairan (demersal) maupun udang.

b. Pukat seperti ini ada yang digunakan di atas perahu (ditarik oleh perahu) dan hasilnya
langsung dinaikkan ke geladak perahu, dan ada yang ditarik ke arah pantai dan hasil
tangkapan langsung dikumpulkan di pantai.

c. Alat ini terdiri dari kantong, badan pukat, dua lembar sayap yang dipasang pada kedua sisi
mulut jaring, dan tali penarik


Pukat Kantong

5. Jaring Insang

a. Jaring insang digunakan untuk menangkap ikan dengan cara menghadang ruaya gerombolan
ikan. Ikan-ikan yang tertangkap pada jaring umumnya karena terjerat di bagian belakang
penutup insang atau terpuntal oleh mata jaring. Biasanya ikan yang tertangkap dalam jaring
ini adalah jenis ikan yang migrasi vertical maupun horizontalnya tidak terlalu aktif

b. Ada berbagai jenis jaring insang, yang terdiri dari satu lapis jaring, dualapis, maupun tiga lapis
jaring. Jaring insang memiliki mata jaring yang sama ukurannya pada seluruh badan jaring.
Jaring ini kemudian dibentangkan untuk membentuk semacam dinding yang dapat menjerat.
Jaring insang dilengkapi dengan pelampung di bagian atas jaring dan pemberat pada bagian
bawahnya.

c. Notes: apakah ada persyaratan besar mata jaring sehingga memiliki selektivitas tinggi?


Jaring Insang


6. Jaring Angkat

a. Jaring angkat dioperasikan dengan menurunkan dan mengangkatnya secara vertikal. Jaring
ini biasanya dibuat dengan bahan jaring nion yang menyerupai kelambu, karena ukuran
mata jaringnya yang kecil (sekitar 0,5 cm). Jaring kelambu kemudian diikatkan pada bingkai
bambu atau kayu yang berbentuk bujur sangkar.

c. Dalam penggunaannya, jaring angkat sering menggunakan lampu atau umpan untuk
mengundang ikan. Biasanya dioperasikan dari perahu, rakit, bangunan tetap, atau langsung.

d. Dari bentuk dan cara penggunaannya, jaring angkat dapat mencakup bagan perahu, bagan
tancap (termasuk kelong), dan serok


Jaring Angkat


7. Pancing

a. Pada dasarnya alat ini menangkap ikan dengan mengundang dengan umpan akanu atau
buatan, yang dikaitkan pada mata pancing.

b. Terdiri dari dua bagian utama, yaitu tali dan pancing. Bahan, ukuran tali, dan besarnya mata
pancing beragam sesuai dengan ukuran ikan yang akan ditangkap. Jumlah mata pancing yang
ada pada tiap alat juga tergantung dari jenis pancingnya.

c. Alat pancing ada pula yang dilengkapi dengan perangkat lain seperti tangkai, pemberat,
pelampung, dan kili-kili

d. Ada berbagai jenis alat pancing untuk tujuan penangkapan ikan yang berbeda, mulai dari alat
yang paling sederhana untuk penangkapan ikan yang sifatnya rekreasi, hingga ukuran dan
bentuk khusus bagi penangkapan ikan skala besar (industri).

d. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk jenis pancing yang digunakan untuk
penangkapan ikan skala besar (seperti misalnya rawai tuna), sebaiknya digunakan di wilayah
laut lepas, karena dapat menyangkut pada terumbu karang dan merusaknya.



Pancing Dasar


8. Perangkap

a. Perangkap merupakan alat yang sifatnya tidak bergerak yang berbentuk "kurungan" yang
menjebak ikan untuk masuk. Keberhasilan alat ini dalam menangkap ikan sangat tergantung
pada jenis ikan dan pola pergerakan (migrasi) ikan tersebut.

b. Ada beberapa jenis bahan yang sering digunakan untuk membuat perangkap yang
tergantung dari jenis ikan yang akan ditangkap dan lokasi penangkapan. Bahan-bahan seperti
bambu, kawat, rotan, jaring, tanah liat, dan plastik sering digunakan.

c. Perangkap biasanya dan dapat digunakan di hampir setiap lokasi. Dasar perairan,
permukaan, sungai arus deras, atau di daerah pasang surut. Sero, jermal, dan bubu
merupakan jenis perangkap yang sering digunakan.

Hal yang harus diperhatikan dalam memanfaatan perangkap terutama bubu di sekitar terumbu karang adalah cara pemasangan dan pengangkatannya. Memasang dan mengangkat bubu harus dilakukan secara hati-hati sehingga tidak mengganggu dan/atau merusak terumbu yang sangat diperlukan oleh komunitas ikan. Sedapat mungkin hindari pemasangan di atas terumbu karang.


Perangkap
9. Alat pengumpul

a. Alat ini sangat penting diketahui karena memiliki selektivitas tinggi, sederhana dalam bentuk
dan rancangannya, serta biasanya digunakan dalam skala yang kecil.

b. Alat pengumpul ini terdiri dari berbagai jenis, bentuk, dan cara penggunaannya. Salah satu
contohnya adalah alat pengumpul kerang di perairan dangkal yang berupa penggaruk (rake)
atau alat pengumpul rumput laut yang berbentuk galah dengan cabang di ujungnya.
10. Alat penangkap lainnya

a. Ada jenis alat yang tidak dapat dikelompokkan ke dalam jenis alat tangkap yang telah
dijelaskan di atas. Alat tangkap tersebut antara lain adalah jala, tombak, senapan/panah,
maupun harpun tangan.

b. Alat-alat tangkap jenis ini, karena selektivitasnya tinggi (setiap alat digunakan untuk satu
jenis tertentu saja), skala pengoperasiannya yang terbatas dan kecil, temasuk dalam alat
tangkap yang ramah lingkungan.

c. Jala memiliki prinsip penangkapan seperti jaring. Yang harus diperhatikan adalah penentuan
besar mata jaring pada jala, sehingga sesedikit mungkin jala tersebut menangkap ikan yang
bukan menjadi sasaran penangkapan.

d. Tombak, alat yang terdiri dari batang yang ujung berkait balik (mata tombak) dan tali
penarik yang diikatkan pada mata tombak.

e. Senapan adalah penangkap yang terdiri dari tangkai/badan senapan dan anak panah. Alat ini
digunakan dengan cara menyelam di perairan karang. Dengan panah biasa, penangkapan
umumnya dilakukan di dekat pantai atau perairan yang dangkal


Alat tangkap tombak



DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2000. Cara Penangkapan Ikan Hias Yang Ramah Lingkungan.
www.terangi.or.id/publications/pdf/tkprmhlkngn.pdf. Downloaded 22
September 2006, 10:25

Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2005. Petunjuk
Teknis Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan. Direktorat Kapal
Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan tahun 2005. Jakarta.

Fa'asili, Ueta. 2001. Principles of Community Fisheries Management. Working
Paper 4 in 2nd SPC Heads of Fisheries Meeting, Noumea, New
Caledonia., 23 - 27 July 2001

Food and Agriculture Organization. 1997. FAO Technical Guidance for Responsible
Fisheries. Foor and Agriculture Organization of The United
Nations.

Katon, Brenda M. and Robert S. Pomeroy. 1999. Fisheries Management of San
Salvador Island, Philippines: A Shared Responsibility, in Society and
Natural Resources Journal, 12:777-795

Pet-Soede, Lida & Mark Erdmann. 1999. An Overview and Comparison of
Destructive Fishing Practices in Indonesia. Unpublish working paper,
Dept of Dish Culture and Fisheries, Wageningen Agricultural University,
The Netherlands, and Dept of Integrative Biologym University of
California, Berkeley USA. http://govdocs.aquake.org/cgi/reprint/2006/
101/1010030.pdf, downloaded 30 Oktober 2006, 09:18

Sondita, M. Fedi A. dan Iin Solihin, Eds. 2006. Kumpulan Pemikiran Tentang
Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggung Jawab: Kenangan
Purnabakti Prof Dr. Ir. Daniel R. Monintja, Dept. Pemanfaaan
Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.

Subani, Waluyo Drs., Ir. H. R. Barus. 1988. Alat Penangkapan Ikan dan Udang
Laut di Indonesia, dalam: Jurnal Penelitian Perikanan Laut, Edisi
Khusus. Balai Penelitian Perikanan Laut, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Dept. Pertanian, Jakarta.

Zakariah, Zahaitun Mahani. 2006. Destructive Fishing in Malaysia: The Need
for Local Participation in Fisheries Management. Unpublised
paper.www.mima.gov.my/mima/htmls/papers/pdf/zmz/zmz_busan.pdf.
Downloaded 08 September 2006. 08:15

Senin, 21 Desember 2009

KAJIAN TEKNIS KEMUNGKINAN PENGALIHAN PENGATURAN PERIJINAN DARI GT MENJADI VOLUME PALKA PADA KAPAL IKAN



Pendahuluan

Sebagai negara kepulauan dengan wilayah perairan laut seluas 2/3 dari keseluruhan luas wilayah Indonesia, maka fungsi laut menjadi sangat strategis dan penting sebagai media penghubung antar pulau yang memersatukan bangsa, melalui transportasi laut. Selain itu perairan laut yang sangat luas dan kaya dengan sumberdaya hayati dan nir hayati ini, juga telah memberikan kesempatan kepada bangsa Indonesia untuk memanfaatkannya melalui kegiatan perikanan, pertambangan, pariwisata, dan lain-lain. Kesemuanya itu dilakukan dengan menggunakan sarana apung yang disebut dengan perahu atau kapal. Berdasarkan data statistik menyebutkan sebanyak 665 245 unit (dengan jumlah keseluruhan isi kotor 731 851 GT) kapal tercatat diseluruh pelabuhan laut komersial maupun non komersial di Indonesia (BPS, 2001). Dari jumlah tersebut sebanyak 449 558 unit (67,58%) merupakan kapal ikan yang dikategorikan kedalam perahu tanpa motor sebanyak 230 867 unit, perahu motor tempel sebanyak 121 022 unit dan kapal motor berukuran 0-200 GT sebanyak 97 669 unit (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002). Data tersebut menunjukkan bahwa kapal ikan menduduki porsi terbesar dari sarana apung yang terdapat di perairan laut Indonesia.

Kapal perikanan (dalam tulisan ini selanjutnya disebut dengan kapal ikan) didefinisikan sebagai kapal atau perahu atau alat apung lainnya yang digunakan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan termasuk melakukan survei atau eksplorasi perikanan. Kapal penangkap ikan adalah kapal yang secara khusus dipergunakan untuk menangkap ikan termasuk menampung, menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan. Kapal pengangkut ikan adalah kapal yang secara khusus dipergunakan untuk mengangkut ikan termasuk memuat, menampung menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan. Berdasarkan defenisi-definisi tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa kapal ikan sangat beragam dari kekhususan penggunaannya hingga ukurannya. Kapal-kapal ikan tersebut terdiri dari kapal atau perahu berukuran kecil berupa perahu sampan (perahu tanpa motor) yang digerakkan dengan tenaga dayung atau layar, perahu motor tempel yang terbuat dari kayu hingga pada kapal ikan berukuran besar yang terbuat dari kayu, fibre glass maupun besi baja dengan tenaga penggerak mesin diesel. Jenis dan bentuk kapal ikan ini berbeda sesuai dengan tujuan usaha, keadaan perairan, daerah penangkapan ikan (fishing ground) dan lain-lain, sehingga menyebabkan ukuran kapal yang berbeda pula.

Kapal ikan merupakan salah satu jenis dari kapal, dengan demikian sifat-sifat dan syarat-syarat yang diperlukan oleh suatu kapal akan diperlukan pula oleh kapal ikan. Tetapi berbeda dengan kapal penumpang (passenger ship) dan kapal barang (cargo ship), kapal ikan digunakan untuk melakukan pekerjaan menangkap ikan (fishing operation), menyimpan ikan, mengangkut ikan, dan lain-lain. Dengan demikian kapal ikan memiliki keistimewaan pokok dalam beberapa aspek, antara lain ditinjau dari segi kecepatan (speed), olah gerak (maneuverability), layak laut (sea worthiness), luas lingkup area pelayaran (navigable area), struktur bangunan kapal (design and construction), propulsi mesin (engine propulsion), perlengkapan storage dan perlengkapan alat tangkap (fishing equipment) yang berbeda dengan kapal umum lainnya (Ayodhyoa, 1972). Pada kondisi-kondisi tertentu, kapal ikan harus sanggup berlayar di luar alur pelayaran yang aman untuk mengejar kawanan ikan (fish schooling) yang menjadi tujuan penangkapan dengan kecepatan tinggi, bahkan di perairan yang sempit sekalipun dengan kondisi yang tidak memungkinkan bagi pelayaran kapal umum.

Di negara maju, jenis kapal ikan sebagaimana tersebut di atas telah ditetapkan dalam suatu peraturan khusus. Peraturan tersebut mengatur tentang pembatasan besar kapal dan jenis usaha yang dilakukan menggunakan kapal serta syarat-syarat pembangunan kapal ikan. Oleh karena itu pada kapal ikan secara umum berlaku dua peraturan, yaitu peraturan sebagai alat perhubungan di perairan dan sebagai alat yang digunakan dalam kegiatan perikanan. Di Indonesia belum ada undang-undang khusus yang mengatur kapal ikan, sehingga peraturan yang berlaku pada kapal ikan adalah sebagai alat perhubungan di perairan (Pasaribu et al., 1985), sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan. Sementara itu peraturan yang secara teknis mengatur kapal ikan baru sebatas peraturan di bidang usaha perikanan (Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002).

Beberapa jenis perijinan teknis kapal ikan Indonesia maupun kapal ikan asing telah diterapkan oleh Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jenis-jenis perijinan tersebut diantaranya meliputi Izin Usaha Perikanan (IUP), Surat Penangkapan Ikan (SPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). Bagi perusahaan yang akan mengajukan SPI, IUP atau berbagai perizinan di bidang perikanan sebagaimana tersebut di atas dikenakan beberapa pungutan antara lain Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP), Pungutan Hasil Perikanan (PHP), Pungutan Perikanan Asing dan sebagainya.

Kendala yang mungkin timbul dalam penetapan pungutan tersebut di atas adalah produktivitas suatu kapal ikan tidak hanya ditentukan dari besar kecilnya ukuran GT kapal. Akan tetapi yang lebih utama adalah ditentukan pula oleh jenis dan banyaknya hasil tangkapan yang mampu diproduksi oleh kapal ikan dalam setiap kali operasi penangkapan. Jenis dan banyaknya hasil tangkapan sangat ditentukan oleh jenis alat tangkap dan lamanya waktu operasi penangkapan serta kapasitas palka dari kapal ikan itu sendiri. Beberapa kasus yang ditemukan di lapangan akan menjadi kendala dalam penetapan pungutan dengan cara seperti tersebut di atas. Kasus tersebut antara lain perbedaan ukuran GT kapal pada dokumen kapal dengan ukuran GT kapal yang sesungguhnya. Permasalahan ukuran GT juga akan timbul pada kasus penanganan kapal-kapal ikan asing yang memiliki cara pengukuran GT yang berbeda dengan yang diterapkan di Indonesia atau internasional. Cek fisik atau pengukuran ulang GT kapal merupakan suatu langkah yang tepat untuk mengantisipasi penyimpangan ukuran GT atau keraguan terhadap ukuran GT kapal. Oleh sebab itu perlu dipikirkan suatu metode yang lebih efektif dan efisien apabila cek fisik kapal dilakukan. Kasus penyimpangan ukuran GT kapal atau perbedaan metode pengukuran GT kapal, telah mengakibatkan ketidakakuratan dalam penetapan nilai pungutan perikanan untuk kapal ikan. Kondisi ini pada akhirnya diperkirakan akan menyebabkan kerugian negara atau bahkan kerugian di pihak pengusaha.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka dalam rangka mengantisipasi kemungkinan kerugian yang lebih besar dan mencari solusi terhadap merebaknya isu IUU fishing, maka perlu dilakukan kajian teknis tentang kemungkinan pengalihan pengaturan perijinan dari GT menjadi volume palkah pada kapal ikan. Volume palka dinilai dapat menggambarkan produktivitas suatu kapal ikan. Disamping itu, bentuk palka pada kapal ikan lebih sederhana dan memiliki ukuran volume yang dapat dipastikan lebih kecil dari kapal ikan, lebih mudah diukur apabila perlu dilakukan cek fisik atau pengukuran ulang di lapangan. Makalah ini disusun berdasarkan hasil telaah data dan informasi terkait yang diperoleh dari berbagai jenis dan sumber pustaka, situs internet, maupun wawancara langsung dengan pihak-pihak terkait.

Status Kini Pengaturan Perizinan Kapal Ikan

Peraturan Pemerintah nomor 62 tahun 2002 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pungutan perikanan adalah pungutan negara atas hak pengusahaan dan/atau pemanfaatan sumberdaya ikan yang harus dibayar kepada pemerintah oleh perusahaan perikanan Indonesia yang melakukan usaha perikanan atau oleh perusahaan asing yang melakukan usaha penangkapan ikan. Pungutan perikanan ini menjadi salah satu potensi ekonomi nasional sebagai sumber penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor kelautan dan perikanan, sehingga hal ini perlu dikelola dan dimanfaatkan untuk menunjang pembangunan nasional. Pungutan perikanan dikenakan kepada nelayan, perusahaan perikanan nasional murni, maupun dengan fasilitas PMDN dan PMA yang melakukan usaha penangkapan ikan. Dalam implementasinya, pungutan perikanan diperoleh melalui pengaturan perizinan kapal-kapal penangkap ikan yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan.

Selanjutnya, mengenai kewenangan perizinan kapal penangkap ikan juga diatur oleh pemerintah berdasarkan besarnya kapal (gross tonage, GT) dan/atau kekuatan mesin (daya kuda, DK) dan daerah operasinya sebagaimana tercantum dalam PP 62 tahun 2002 Pasal 8 yang menyebutkan bahwa pungutan perikanan dikenakan bagi perusahaan perikanan Indonesia yang menggunakan kapal penangkap ikan dengan bobot lebih besar dari 30 GT dan/atau yang mesinnya berkekuatan lebih besar dari 90 DK dan beroperasi di luar perairan 12 mil laut. Selain itu, perusahaan perikanan asing yang menggunakan kapal penangkap ikan dan mendapatkan izin untuk beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) juga dikenakan pungutan perikanan. Untuk perusahaan perikanan Indonesia yang menggunakan kapal penangkap ikan dibawah kriteria di atas akan diatur oleh Pemerintah Daerah setempat. Secara ringkas mekanisme umum pengurusan perizinan usaha penangkapan ikan di Indonesia diterakan pada Gambar 1.

Peraturan Pemerintah nomor 62 tahun 2002 juga mengatur bahwa pungutan perikanan terdiri atas tiga jenis, yaitu Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP), Pungutan Hasil Perikanan (PHP) dan Pungutan Perikanan Asing (PPA). Untuk perusahaan perikanan Indonesia dikenakan PPP dan PHP, sedangkan perusahaan perikanan asing dikenakan PPA. Pungutan Pengusahaan Perikanan dikenakan pada saat perusahaan perikanan Indonesia memperoleh Izin Usaha Perikanan (IUP) baru atau perubahan, atau Alokasi Penangkapan Ikan Penanaman Modal (APIPM) baru atau perubahan, atau Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) baru atau perpanjangan. Pungutan Hasil Perikanan dikenakan pada saat perusahaan perikanan Indonesia memperoleh dan/atau memperpanjang Surat Penangkapan Ikan (SPI). Pungutan Perikanan Asing dikenakan pada saat perusahaan perikanan asing memperoleh atau memperpanjang Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI). Besarnya PPP dihitung berdasarkan rumusan tarif PPP per GT dikalikan ukuran GT kapal menurut jenis kapal perikanan yang dipergunakan, sedangkan besarnya PHP dihitung berdasarkan rumusan 1% dikalikan produktivitas kapal dikalikan Harga patokan Ikan (HPI) untuk perusahaan perikanan skala kecil dan 2,5% dikalikan produktivitas kapal dikalikan HPI untuk perusahaan perikanan skala besar. Menteri Kelautan dan Perikanan secara periodik menetapkan produktivitas kapal penangkap ikan menurut alat penangkap ikan yang dipergunakan, sedangkan HPI secara periodik ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Untuk besarnya PPA ditetapkan berdasarkan rumusan tarif PPA per GT dikalikan ukuran GT kapal menurut jenis kapal perikanan yang dipergunakan. Dari aturan ini terlihat jelas bahwa sistem pungutan perikanan di Indonesia menggunakan pendekatan GT kapal dan jenis alat tangkap yang digunakan.

Walaupun pengaturan pungutan perikanan dengan menggunakan pendekatan ini dapat berjalan baik, namun pada pelaksanaannya masih ditemui permasalahan klasik, seperti terjadinya manipulasi ukuran GT kapal, baik yang dilakukan oleh perusahaan perikanan Indonesia maupun asing dengan tujuan untuk menurunkan nilai pungutan perikanan yang harus dibayar. Permasalahan ini menjadi agak sulit untuk diatasi oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), karena penentuan besaran GT kapal berada diluar kewenangan DKP, sehingga tidak dapat ditangani secara intern. Dengan adanya kendala ini, maka secara tidak langsung akan mempengaruhi target perolehan PNBP dari sektor kelautan dan perikanan.

Beberapa Model Pengaturan Perizinan Kapal Ikan di Luar Negeri
Hingga kini tidak ada standar baku international yang mengatur tentang perizinan kapal penangkap ikan dalam memanfaatkan sumberdaya ikan, sehingga setiap negara menetapkan aturan tersendiri yang menurut mereka paling tepat. Berikut adalah beberapa contoh model pengaturan perizinan kapal penangkap ikan yang diterapkan oleh beberapa negara. Informasi ini merupakan uraian singkat yang diperoleh dari situs resmi internet.

(1) Jepang
Jepang, sebagai salah satu negara industri perikanan tangkap terbesar didunia menerapkan pengaturan perizinan kapal ikan dengan pendekatan ukuran GT kapal. Untuk ukuran 100 GT keatas, proses perizinanannya ditetapkan oleh pemerintah pusat, ukuran dibawah 100 GT hingga 50 GT ditangani prefecture (setingkat pemerintah daerah), dan untuk ukuran dibawah 50 GT diatur oleh koperasi. Pemerintah Jepang tidak mengenakan pungutan perikanan pada kapal penangkap ikannya, tetapi dilakukan dalam bentuk retribusi yang lain, sedangkan koperasi menetapkan pungutan perikanan pada kapal penangkap ikan yang dikelolanya, untuk kepentingan manajemen koperasi dan anggotanya.

(2) Australia
Pemerintah Australia mengatur perizinan pengelolaan sumberdaya perikanan menjadi 2 katagori. Untuk pengelolaan sumberdaya perikanan pantai hingga batas 3 mil laut diatur oleh negara bagian (State), sedangkan di atas 3 mil laut hingga 200 mil laut (Zona Ekonomi Eksklusif) ditetapkan dan diatur oleh pemerintah pusat (Commonwealth). Kemudian untuk kapal penangkap ikan yang memanfaatkan sumberdaya tersebut dikenai pungutan perikanan yang besarnya ditentukan berdasarkan jenis alat tangkap yang digunakan, panjang kapal dan umur penggunaan kapal.


Gambar 1. Mekanisme Perizinan Kapal Penangkap Ikan di Indonesia

(3) Canada
Dalam mengelola sumberdaya ikan, Pemerintah Canada menetapkan perijinan usaha penangkapan ikan (fishing licence fee) berdasarkan dua katagori, yaitu perikanan yang bersaing (competitive fisheries) dan kuota individu (individual quota/IQ). Untuk competitive fisheries besarnya fee ditentukan berdasarkan nilai hasil tangkapan yang didaratkan dengan 4 kelompok kisaran nilai, yaitu:
a. $ 30, jika nilai produksi yang didaratkan < $1000 tertentu,
b. $100, jika nilai produksinya $1000-$25,000,
c. $100 + 3% dari Nilai produksi-$25,000, jika nilai produksinya $25,000-$100,000 dan
d. $2,350 + 5% dari Nilai produksi-$100,000, jika nilai produksinya >$100,000. Besarnya fee bagi IQ adalah 5% dari nilai produksi yang didaratkan.

(4) USA
Pengaturan perijinan usaha penangkapan ikan di USA diserahkan kepada negara bagian masing-masing. Sebagai contoh: Negara Bagian California menentukan besaran nilai pungutan perikanannya berdasarkan jenis alat tangkap yang digunakan dan target spesies yang diusahakan.

(5) United Kingdom (UK)
Pemerintah UK membagi perijinan kapal penangkap ikan berdasarkan panjang totalnya (length overall) menjadi 2 jenis lisensi, yaitu untuk kapal penangkap ikan yang panjang totalnya kurang dari 10 meter dan untuk kapal penangkap ikan yang panjang totalnya di atas 10 meter. Kriteria lisensi ini diperinci lagi berdasarkan besarnya unit kapasitas kapal (Vessel Capacity Units/VCUs), dimana VCUs = (length overall x breadth) + (0,45 x engine power). Nilai pungutan perikanan yang akan dikenakan ditentukan oleh jenis-jenis lisensi dan target spesies.
Selain dari contoh-contoh di beberapa negara di atas, terdapat juga peraturan khusus yang tidak menggunakan GT standar sebagai dasar perhitungan pungutan. Peraturan ini diterapkan di Terusan Suez, dimana besarnya pungutan ditetapkan berdasarkan isi bersih kapal (net tonnage). Lain halnya dengan Terusan Panama yang menetapkan besarnya pungutan berdasarkan nilai GT yang tidak standar (tidak memperhitungan ruangan tertutup tidak permanen).

Kajian Teknis GT dan Volume Palkah Kapal Ikan

(A) Gross Tonnage
Dalam sejarah penentuan metode pengukuran kapal, Soegeng (1997) menyebutkan bahwa cara pengukuran kapal di berbagai negara adalah cara pengukuran menurut MOORSOM. Cara ukur MOORSOM mula-mula diterapkan di Inggris dan negara jajahannya tahun 1855. Kemudian penerapannya diikuti oleh Austria, Italia, Turki, Norwegia dan Finlandia. Baru pada tahun 1886, dengan diberlakukannya Sceepmentings Ordonantie 1927 di wilayah Indonesia mulai diterapkan cara ukur MOORSOM dalam pengukuran kapal. Akan tetapi dalam pelaksanaannya satu dengan

yang lainnya mempunyai sistem yang berbeda. Karena itu dirasakan perlu adanya suatu sistem yang bersifat universal. Sesudah perang dunia kedua (1939-1945), United Nations mendirikan suatu organisasi perkapalan khusus yaitu ”Intergovernmental Maritime Consultative Organization” disingkat ”ICMO” berkedudukan di London.

Menyadari betapa pentingnya penetapan suatu sistem yang bersifat universal untuk pengukuran kapal, maka pada tanggal 27 Mei hingga 23 Juni 1969 diselenggarakan suatu konferensi yang dihadiri oleh lebih 40 negara, termasuk Indonesia, dengan mengundang ICMO. Tujuannya adalah untuk merumuskan Konvensi Internasional tentang Pengukuran Kapal. Pada tanggal 23 Juni 1969 disahkan ”International Convention on Tonnage Measurement of Ships”. Dalam konvensi ini juga ditetapkan penggunaan isi kotor (Gross Tonnage/GT) dan isi bersih (Net Tonnage) sebagai parameter pengukuran serta cara pengukurannya. Pemerintah Indonesia pada akhirnya mengesahkan konvensi tersebut melalui Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1989 tentang Pengesahan International Convention on Tonnage Measurement of Ships 1969.
Beberapa hal utama yang perlu diketahui dari International Convention on Tonnage Measurement of Ships 1969 adalah bahwa konvensi ini akan diterapkan pada kapal-kapal yang digunakan untuk pelayaran-pelayaran internasional dan yang terdaftar di negara-negara yang pemerintahannya ikut menandatangani konvesi tersebut (Pasal 3), dan tidak akan berlaku bagi kapal-kapal yang panjangnya kurang dari 24 meter (Pasal 4). Dengan demikian kapal-kapal yang memiliki panjang kurang dari 24 meter diatur oleh masing-masing negara.

Gross Tonnage (GT/isi kotor) kapal berdasarkan International Convention on Tonnage Measurement of Ships 1969 (Konvensi Internasional Tentang Pengukuran Kapal 1969) yang telah diratifikasi dengan Keppres No. 5 Tahun 1989 tentang Pengesahan International Convention on Tonnage Measurement of Ships 1969, adalah ukuran besarnya kapal secara keseluruhan dengan memperhitungan jumlah isi semua ruangan-ruangan tertutup baik yang terdapat di atas geladak maupun di bawah geladak ukur.

Berdasarkan Keputusan Peraturan Pengukuran Kapal 1927 (Sceepmentings Ordonantie 1927) Pasal 32 Ayat (2) disebutkan bahwa ukuran isi kapal atau kendaraan air adalah dalam meter kubik (m3) dan dalam ton-register (Register Ton/RT). Jumlah ton-register didapat dengan cara mengalikan jumlah meter kubik dengan bilangan 0,353. Dengan demikian bilangan 0,353 merupakan nilai konversi dari meter kubik ke ton-register. Bilangan ini diperoleh berdasarkan ukuran satuan kaki (feet) Inggris, dimana:

Satu feet = 30,479 cm
Satu feet kubik = 0,02831405 m3
100 feet kubik = 2,831405 m3
Satu meter kubik = 0,353 RT (Register Ton)

Sebagaimana yang tertera dalam Keputusan DIRJEN PERLA No. PY.67/1/13-90 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri Perhubungan (Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 41 Tahun 1990 tentang Pengukuran Kapal-kapal Indonesia), pada BAB 1 Pasal 1 disebutkan bahwa cara pengukuran kapal di Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Cara pengukuran Internasional ditetapkan terhadap kapal berukuran panjang 24 (dua puluh
empat) meter atau lebih;
b. Cara pengukuran dalam Negeri ditetapkan terhadap kapal berukuran panjang kurang dari 24
(dua puluh empat) meter.

Cara pengukuran Internasional adalah berdasarkan ketetapan yang ada dalam Konvensi Internasional tentang Pengukuran Kapal (International Convention on Tonnage Measurement of Ships) 1969, dimana GT kapal ditentukan sesuai dengan rumus berikut:

GT = K1V (1)
dimana:
V : Jumlah isi semua ruang-ruang tertutup yang dinyatakan dalam meter kubik.
K1 : 0,2 + 0,002 log 10V (atau nilai K1 merupakan koefisien yang diperoleh dari hasil interpolasi linier).

Penggunaan rumus ini menghasilkan ukuran isi kapal dalam satuan meter kubik.

Jumlah isi semua ruang-ruang tertutup (V) sebagaimana tersebut di atas merupakan ruangan-ruangan yang terdapat di bawah geladak ukur maupun di atas geladak ukur. Pengukuran ruang-ruang tertutup berdasarkan peraturan internasional pada intinya ada dua, yaitu dengan mengalikan panjang, lebar dan tinggi suatu ruangan untuk mendapatkan volume ruangan berbentuk segi empat dan menghitung volume bagian per bagian dari suatu ruangan yang berbentuk tidak beraturan dengan cara pengukuran menurut MOORSOM atau dalam bidang naval architec dikenal cara penghitungan dengan menggunakan Sympson’s Rules. Pengukuran menurut MOORSOM ini adalah dengan cara menghitung volume suatu ruangan tertentu yang tidak beraturan dengan terlebih dahulu membagi ruangan-ruangan tersebut menjadi beberapa bagian yang lebih kecil. Kemudian ruangan-ruangan kecil tersebut dihitung volumenya bagian per bagian dan baru kemudian dijumlahkan untuk mendapatkan volume total ruangan tersebut. Sebagai ilustrasi, perhitungan ruangan menurut MOORSOM dapat dilihat pada Lampiran 1.

Penentuan GT kapal menurut cara pengukuran dalam negeri, dihitung sesuai dengan ketentuan Pasal 26 dan 27 dalam Keputusan DIRJEN PERLA No. PY.67/1/13-90. Berdasarkan cara pengukuran dalam negeri, GT kapal diperoleh dan ditentukan sesuai dengan rumus sebagai berikut:

GT = 0,353 x V (2)
dimana:

V : adalah jumlah isi dari ruangan di bawah geladak atas ditambah dengan ruangan-ruangan di atas geladak atas yang tertutup sempurna yang berukuran tidak kurang dari 1 m3.

Nilai 0,353 sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya adalah merupakan nilai konversi dari satuan meter kubik ke ton register. Oleh karena itu, penggunaan rumus yang demikian ini mengakibatkan ukuran isi kapal dinyatakan dalam satuan ton register.

Dalam pengukuran volume berdasarkan cara pengukuran dalam negeri, isi ruangan di atas geladak adalah hasil perkalian majemuk dari ukuran panjang rata-rata, lebar rata-rata dan tinggi rata-rata suatu ruangan. Sementara itu isi ruangan di bawah geladak adalah perkalian majemuk dari:

Isi ruangan di bawah geladak= L x B x D x f (3)
dimana:

L : panjang kapal, yang diukur mulai dari geladak yang terdapat di belakang linggi haluan
sampai geladak yang terdapat di depan linggi buritan secara mendatar.
B : lebar kapal, adalah jarak mendatar diukur antara kedua sisi luar kulit lambung kapal pada
tempat yang terbesar, tidak termasuk pisang-pisang.
D : dalam kapal, adalah jarak tegak lurus di tempat yang terlebar, diukur dari sisi bawah gading
dasar sampai sisi bawah geladak atau sampai pada ketinggian garis khayal melintang melalui
sisi atas dari lambung tetap.
f : faktor, ditentukan menurut bentuk penampang melintang dan atau jenis kapal yaitu:
(1) 0,85 bagi kapal-kapal dengan bentuk penampang penuh atau bagi kapal-kapal dengan
dasar rata, secara umum digunakan bagi kapal tongkang;
(2) 0,70 bagi kapal-kapal dengan bentuk penampang hampir penuh atau dengan dasar agak
miring dari tengah-tengah ke sisi kapal, secara umum digunakan bagi kapal motor;
(3) 0,50 bagi kapal-kapal yang tidak termasuk golongan (1) atau (2), secara umum digunakan
bagi kapal layar atau kapal layar dibantu motor.

Faktor “f”, dalam istilah naval architect disebut juga sebagai koefisien kegemukan kapal atau koefisien balok (coefficient of block, Cb). Nilai Cb menunjukkan nilai rasio antara volume displasemen kapal dengan perkalian antara panjang (L), lebar (B) dan dalam (D) kapal. Nilai Cb semakin mendekati angka 1 (satu) menunjukkan bahwa kapal tersebut hampir berbentuk balok. Contoh nilai Cb mendekati angka 1 adalah kapal tongkang.

Pada tanggal 17 Mei 2002, telah ditetapkan Keputusan Dirjen PERLA No. PY.67/1/16-02 yang berisikan tentang adanya perubahan rumus dalam menghitung GT sebagaimana yang telah ditetapkan sebelumnya dalam Keputusan Dirjen PERLA No. PY.67/1/13-90 (Pasal 26). Rumus GT kapal yang sebelumnya adalah hasil perkalian antara 0,353 dengan V berubah menjadi:
GT = 0,25 x V (4)

Berdasarkan Keputusan Dirjen PERLA No. PY.67/1/16-02 Pasal I Bagian B yang menyatakan bahwa “Ketentuan-ketentuan lain sebagaimana diatur dalam Keputusan Dirjen PERLA No. PY.67/1/13-90 sepanjang tidak diubah atau diganti dengan Keputusan ini, dinyatakan tetap berlaku”. Ketetapan ini mengandung pengertian bahwa untuk menghitung nilai “V” (volume kapal) adalah sama seperti yang tertera dalam Pasal 25 Ayat (2) dan (3) Keputusan Dirjen PERLA No. PY.67/1/13-90. Dengan demikian, dalam Keputusan Dirjen PERLA No. PY.67/1/16-02 telah merubah nilai konversi meter kubik ke ton-register dari 0,353 menjadi 0,25. Akan tetapi jika nilai 0,25 dalam Keputusan Dirjen PERLA No. PY.67/1/16-02 yang dimaksudkan adalah

sebagai koefisien K1 sebagaimana rumus pengukuran GT internasional, maka ukuran isi kapal adalah dalam satuan meter kubik. Apabila akan dikonversi ke dalam satuan ton register, maka ukuran isi dalam satuan meter kubik tersebut haruslah tetap dikalikan dengan 0,353. Untuk menghindari interpretasi yang salah dalam penggunaan rumus perhitungan GT kapal tersebut (rumus (4)), perlu lebih diperjelas dalam mengimplementasikan Keputusan Dirjen PERLA No. PY.67/1/16-02. Sebagai akibat dari perbedaan interpretasi perhitungan GT kapal ini (rumus (4)), maka kemungkinan terjadinya penyimpangan perhitungan GT kapal sangat besar.
Definisi ruang tertutup berdasarkan International Convention on Tonnage Measurement of Ships 1969, Peraturan 2 Pasal 22, adalah ruang-ruang yang dibatasi oleh badan kapal, oleh dinding penyekat yang tetap atau yang dapat dipindah, oleh geladak-geladak ataupun penutup-penutup lain selain tenda-tenda tetap ataupun yang dapat dipindah. Ditinjau dari definisi tersebut, khusus untuk pengukuran GT kapal ikan meliputi seluruh ruangan tertutup yang terdapat di atas maupun di bawah dek seperti palka, palka umpan (bagi kapal ikan yang membawa umpan hidup/mati seperti kapal pole and line, kapal rawai tuna dan sebagainya), gudang/tempat menyimpan alat tangkap, ruang akomodasi ABK (accomodation room), dapur (bagi kapal ikan yang lebih dari satu hari operasi per trip), ruang kemudi (khusus ruang kemudi yang tertutup), ruang mesin, tangki bahan bakar (fuel oil tank) dan tangki air tawar (fresh water tank).
Pengukuran GT kapal secara internasional, menuntut pihak yang berwenang dalam pengukuran kapal untuk melakukan pengukuran terhadap ruangan-ruangan tersebut satu persatu. Secara teknis, pengukuran ruangan-ruangan yang berbentuk empat persegi tidaklah terlampau sulit. Lain halnya apabila pengukuran dilakukan terhadap ruangan yang memiliki bentuk tidak beraturan atau ruangan yang berada di bawah geladak kapal, dimana bentuk ruangannya terkadang mengikuti bentuk badan kapal (kasko). Pengukuran ruangan dengan menggunakan MOORSOM, apabila dilakukan dengan menggunakan gambar rencana garis (lines plan) kapal masih mungkin untuk dilakukan. Hal yang sulit apabila pengukuran GT kapal menurut MOORSOM dilakukan langsung terhadap kapalnya itu sendiri. Kalaupun hal ini dapat dilakukan, akan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Pengukuran GT kapal dengan cara dalam negeri, perhitungan ruangan di atas geladak kapal yang umumnya berbentuk empat persegi tidak berbeda dengan cara pengukuran internasional. Perbedaannya adalah dalam pengukuran ruangan di bawah geladak kapal. Dalam pengukuran GT dalam negeri, perhitungan ruangan di bawah geladak hanyalah dengan mengalikan CUNO (Cubic Number) dengan faktor f atau Cb kapal. Dimana CUNO merupakan hasil pengalian dari panjang, lebar dan dalam kapal. Hal yang sangat menentukan terhadap keakuratan hasil pengukuran GT kapal adalah penentuan nilai f atau Cb sebagai faktor pengali. Hal ini disebabkan karena nilai kegemukan badan kapal di bawah geladak ukur sangatlah bervariasi, mulai dari bentuk kapal yang ramping, sedang hingga gemuk. Disamping itu pula, bentuk badan kapal bervariasi ditinjau dari bentuk midship area-nya (A⊗), seperti yang dikemukakan dalam Dohri (1983), Fyson (1985) dan Traung (1960), beberapa bentuk penampang kapal antara lain:




Gambar 2. Bentuk midship area kapal


Oleh karena itu, penetapan nilai f atau Cb sangatlah menentukan hasil pengukuran GT kapal terutama terhadap ruangan-ruangan di bawah geladak ukur. Cara pengukuran dalam negeri, ditinjau dari teknik pelaksanaan pengukuran, lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan cara pengukuran GT internasional, baik pengukuran terhadap lines plan kapal maupun langsung dilakukan pengukuran terhadap kapalnya. Akan tetapi seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, cara pengukuran GT dalam negeri dapat tidak akurat apabila nilai f atau Cb yang ditetapkan tidak sesuai dengan bentuk badan kapal yang sesungguhnya. Dari hasil penelitian Iskandar dan Pujiati (1995), setelah dikelompokkan berdasarkan metode pengoperasian alat tangkap diketahui bahwa nilai Cb untuk kelompok kapal yang mengoperasikan alat tangkap static gear (seperti kapal gillnet), encircling gear (seperti kapal purse seine) dan towed gear (seperti kapal pukat udang) masing-masing berkisar antara 0,39–0,70, 0,56–0,67 dan 0,40–0,60.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa pengukuran GT kapal baik secara internasional maupun dalam negeri bukanlah merupakan hal yang mudah dilakukan. Terlebih jika pengukurannya diterapkan langsung pada kapal. Selain kesulitan-kesulitan teknis, pengukuran GT di lapang membutuhkan waktu dan tingkat ketelitian yang tinggi.

(B) Volume Palka
Palka pada kapal ikan memiliki fungsi sebagai tempat untuk menyimpan ikan hasil tangkapan. Selain untuk menyimpan hasil tangkapan, peranan palka pada kapal ikan adalah sekaligus sebagai tempat untuk menjaga mutu hasil tangkapan. Apabila pengawetan atau penjagaan mutu ikan setelah ditangkap menggunakan es, maka di dalam palka selain terdapat ikan hasil tangkapan juga terdapat es. Keberadaan palka pada kapal ikan merupakan kekhasan kapal ikan yang membedakannya dengan jenis kapal lainnya. Pada umumnya, palka berada di bawah geladak ukur kapal.
Bentuk palka ikan dari beberapa hasil pengamatan diketahui bahwa secara umum dibedakan menjadi dua, yaitu berbentuk ruang empat persegi dan berbentuk mengikuti bentuk badan kapal di bagian dasar dan atau di sisi samping (Gambar 3).


Gambar 3. Beberapa bentuk palka pada kapal ikan

Berdasarkan bentuk palka, metode yang digunakan untuk mengukur volume palka apabila palka berbentuk ruang segi empat adalah dengan mengalikan panjang, lebar dan tinggi ruangan tersebut. Untuk bentuk palka yang mengikuti bentuk badan kapal, pengukuran volume palka dapat dilakukan dengan menggunakan Sympson’s Rules untuk menghitung luas penampang pada sisi melintang palka kemudian dikalikan dengan panjang palka (searah panjang kapal). Hasil pengukuran terhadap volume palka adalah dalam satuan meter kubik.

Pengukuran volume palka pada kapal ikan lebih mudah diterapkan jika dibandingkan dengan pengukuran GT kapal. Pengukuran GT kapal sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, meliputi pengukuran seluruh ruangan tertutup yang berada di bawah maupun di atas geladak ukur. Pengukuran volume palka adalah kegiatan pengukuran terhadap salah satu atau beberapa ruangan tertutup (apabila palka lebih dari satu ruangan) yang berada di bawah geladak ukur kapal. Selain lebih mudah, pengukuran volume palka tidak membutuhkan waktu lama dibandingkan dengan pengukuran GT kapal.

Kondisi saat ini, besar kecilnya volume palka pada kapal ikan tidak dapat menggambarkan volume kapal keseluruhan atau sebaliknya, volume total kapal ikan tidak dapat menggambarkan volume palka yang terdapat didalamnya. Hal ini disebabkan belum adanya suatu ketetapan terhadap besaran volume palka berdasarkan ukuran GT kapal dan jenis alat tangkap yang dioperasikannya. Selain itu, palka hanya menempati sebagian dari volume ruang di bawah geladak ukur kapal.

Kenyataan lainnya adalah, masih ada beberapa kapal ikan yang tidak dilengkapi dengan palka. Hasil tangkapan umumnya ditempatkan dalam keranjang-keranjang atau tong-tong yang kemudian ditempatkan di bawah geladak atau di atas geladak. Umumnya ketiadaan palka pada kapal ikan sering ditemui pada kapal-kapal yang berukuran kurang dari 15 GT atau pada kapal-kapal yang beroperasi tidak lebih dari satu hari operasi tiap tripnya.

Gross Tonage dan Volume Palka Kapal Ikan Dalam Pengaturan Perijinan
Dinamisnya pertumbuhan perikanan tangkap di Indonesia, mulai dari segi jumlah, ukuran/dimensi armada penangkapan dan tingkat teknologi yang digunakan, dirasakan perlu untuk membuat skema pengaturan yang tepat. Tujuan pengaturan yang dimaksud adalah untuk menjaga keseimbangan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan serta menjamin keberlanjutannya dimasa yang akan datang untuk kesejahteraan rakyat.

Pengelolaan sumberdaya perikanan laut telah banyak diupayakan oleh pemerintah, dalam bentuk berbagai macam kebijakan. Beberapa kebijakan pemerintah tersebut telah diterapkan melalui PP maupun KEPMEN seperti antara lain Peraturan Pemerintah RI No. 62 Tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis PNBP yang berlaku pada Departemen Kelautan dan Perikanan, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.23/MEN/2001 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan, Keputusan Menteri Pertanian No. 392/Kpts/IK.120/4/99 tentang Jalur-jalur Penangkapan Ikan, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.60/MEN/2001 tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di ZEE Indonesia dan sebagainya. Dalam peraturan-peraturan tersebut, ukuran GT kapal digunakan sebagai acuan pengaturan.

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa banyak sekali penyimpangan-penyimpangan ukuran GT untuk berbagai tujuan, antara lain untuk mengurangi besarnya pungutan berdasarkan ukuran GT kapal. Hal ini tidak saja dilakukan oleh kapal ikan Indonesia, akan tetapi juga oleh kapal ikan asing yang beroperasi di Indonesia. Khusus bagi kapal ikan asing yang mau beroperasi di Indonesia harus seijin Pemerintah Indonesia. Berdasarkan International Convention on Tonnage Measurement of Ships 1969 Pasal 12 Ayat (1) yang berbunyi “Suatu kapal yang mengibarkan bendera dari suatu Negara yang Pemerintahnya adalah Pemerintah Penanda Tangan Perjanjian, apabila masuk pelabuhan di Negara peserta lainnya, boleh diperiksa oleh pejabat/petugas yang diberi kuasa oleh Pemerintah setempat” dan Ayat (3) “Apabila dari hasil pemeriksaan ternyata ciri-ciri utama kapal tersebut berbeda dengan yang tercatat dalam Surat Ukur Internasional (1969), Pemerintah dari Negara yang benderanya dikibarkan oleh kapal tersebut harus diberitahu dengan segera”. Hal ini memberikan arti bahwa Pemerintah Indonesia boleh melakukan cek fisik apabila terdapat keraguan terhadap ukuran GT dari kapal ikan asing tersebut, walaupun tidak

sampai merubah isi dokumen surat ukur kapal tersebut. Demikian pula halnya dengan kapal-kapal ikan Indonesia, seharusnya dilakukan cek fisik apabila terdapat kecurigaan terhadap ukuran GT kapal tersebut.

Adanya penyimpangan ukuran GT kapal ikan pada akhirnya akan merugikan bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu, khusus untuk kapal ikan perlu diberlakukan suatu parameter yang khusus dalam menetapkan parameter pengaturan selain ukuran GT kapal. Parameter tambahan dalam pengaturan perijinan kapal ikan telah pula diterapkan di beberapa negara, seperti beberapa contoh perijinan kapal ikan di negara lain tersebut di atas.

Pasal 1 Ayat (1) dan (2) dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.38/MEN/2003 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan, menyebutkan bahwa produktivitas kapal penangkap ikan merupakan tingkat kemampuan kapal penangkap ikan untuk memperoleh hasil tangkapan ikan per tahun. Nilai produktivitas ini dihitung berdasarkan ukuran GT kapal, jenis alat, jumlah trip operasi penangkapan per tahun, kemampuan tangkap rata-rata per trip dan wilayah penangkapan ikan. Pada kenyataannya, berapapun besar ukuran GT suatu kapal, akan tetapi kemampuan kapal ikan untuk mengangkut hasil tangkapannya mulai dari fishing ground ke fishing base sangat tergantung kepada kapasitas/volume palka ikan yang ada didalamnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa produktivitas kapal ikan sangatlah ditentukan oleh kapasitas palka yang dimilikinya. Oleh karena itu, informasi tentang kapasitas atau volume palka ikan sangatlah dibutuhkan terutama dalam kerangka pengelolaan sumberdaya ikan berkelanjutan dan lestari untuk kesejahteraan masyarakat.

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, ukuran GT kapal ikan sulit untuk dijadikan patokan dalam memperkirakan volume palka ikan yang terdapat di dalamnya. Hal ini disebabkan karena ukuran GT kapal meliputi volume semua ruangan tertutup yang ada di kapal. Di Indonesia desain kapal ikan cukup bervariasi, beberapa kapal ada yang memiliki ruangan di atas geladak ukur dan ada yang tidak. Bahkan beberapa kapal ikan tidak memiliki palka ikan seperti pada kapal-kapal pole and line, ataupun kapal-kapal yang termasuk kategori perikanan skala kecil, seperti perahu payang, dogol dan compreng. Dengan demikian, ukuran GT kapal pada Surat Ukur Kapal tidak termasuk volume palka.

Penutup
Berdasarkan hasil kajian sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka dapat diberikan beberapa catatan penting sebagai berikut:
(1) Terdapat beberapa kelemahan dalam penetapan perijinan kapal ikan berdasarkan GT kapal
yang diterapkan di Indonesia, terutama dalam hal pelaksanaan cek fisik kapal di lapangan.
(2) Ketetapan perhitungan GT kapal yang diterapkan oleh pemerintah menurut Keputusan
Dirjen Perla Nomor PY.67/1/16-02, dikhawatirkan menghasilkan nilai hitung GT yang lebih
rendah.
(3) Mekanisme pengaturan perijinan kapal ikan di luar negeri memiliki cara perhitungan yang
berbeda-beda dan spesifik untuk setiap negara. Kondisi ini memberikan dukungan dan
peluang bagi Indonesia untuk dapat menerapkan metode yang lebih akurat yang didasarkan
pada kondisi perikanan di tanah air.


Daftar Pustaka
Ayodhyoa, 1972. Fishing boat. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. 56hal.
Dohri, 1983. Kecakapan Bahari I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.
Fyson, J. 1985. Design of Small Fishing Vessels. Fishing News Ltd. London. England
Iskandar, B.H. dan Pujiati, S. 1995. Keragaan Teknis Kapal Perikanan di Beberapa Wilayah Indonesia. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. FPIK-IPB. Bogor.
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 392/Kpts/IK.120/4/99 tentang Jalur-jalur Penangkapan Ikan.
Pasaribu, BP., 1985. Prosisding seminar pengembangan kapal ikan di Indonesia dalam rangka implementasi wawasan nusantara. Bogor, 24 Nopember 1984. Institut Pertanian Bogor.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan.
Soegeng, W., 1988. Pendaftaran kapal Indonesia. Penerbit PT. Eresco Bandung. 93 hal.
Traung, J. 1960. Fishing boats of the world 2. Fishing news (books) Ltd. London. England.


Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF)
Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) adalah salah satu kesepakatan dalam konferensi Committee on Fisheries (COFI) ke-28 FAO di Roma pada tanggal 31 Oktober 1995, yang tercantum dalam resolusi Nomor: 4/1995 yang secara resmi mengadopsi dokumen Code of Conduct for Responsible Fisheries. Resolusi yang sama juga meminta pada FAO berkolaborasi dengan anggota dan organisasi yang relevan untuk menyusun technical guidelines yang mendukung pelaksanaan dari Code of Conduct for Responsible Fisheries tersebut.

Tatalaksana ini menjadi asas dan standar internasional mengenai pola perilaku bagi praktek yang bertanggung jawab, dalam pengusahaan sumberdaya perikanan dengan maksud untuk menjamin terlaksananya aspek konservasi, pengelolaan dan pengembangan efektif sumberdaya hayati akuatik berkenaan dengan pelestarian ekosistem dan keanekaragaman hayati. Tatalaksana ini mengakui arti penting aspek gizi, ekonomi, sosial, lingkungan dan budaya yang menyangkut kegiatan perikanan dan terkait dengan semua pihak yang berkepertingan yang peduli terhadap sektor perikanan. Tatalaksana ini memperhatikan karakteristik biologi sumberdaya perikanan yang terkait dengan lingkungan/habitatnya serta menjaga terwujudnya secara adil dan berkelanjutan kepentingan para konsumen maupun pengguna hasil pengusahaan perikanan lainnya.

Pelaksanaan konvensi ini bersifat sukarela. Namun beberapa bagian dari pola perilaku tersebut disusun dengan merujuk pada UNCLOS 1982. Standar pola perilaku tersebut juga memuat beberapa ketentuan yang mungkin atau bahkan sudah memberikan efek mengikat berdasarkan instrumen hukum lainnya di antara peserta, seperti pada "Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas (Compliance Agreement 1993J'. Oleh sebab itu negara-negara dan semua yang terlibat dalam pengusahaan perikanan didorong untuk memberlakukan Tatalaksana ini dan mulai menerapkannya.

Latar belakang Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF),

1. Keprihatinan para pakar perikanan dunia terhadap semakin tidak terkendali,
mengancam sumberdaya ikan.
2. Issue Lingkungan
3. Illegal, Unreported dan Unregulated (IUU) Fishing.
4. Ikan sebagai sumber pangan bagi penduduk dunia.
5. Pengelolaan sumberdaya ikan tidak berbasis masyarakat.
6. Pengelolaan Sumberdaya ikan dan lingkungannya yang tidak mencakup konservasi.
7. Didukung oleh berbagai konferensi Internasional mengenai perikanan berusaha
untuk mewujudkan Keprihatinan tersebut,

Tujuan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)

1. Menetapkan azas sesuai dengan hukum (adat, nasional, dan international), bagi
penangkapan ikan dan kegiatan perikanan yang bertanggung jawab.
2. Menetapkan azas dan kriteria kebijakan,
3. Bersifat sebagai rujukan (himbauan),
4. Menjadiakan tuntunan dalam setiap menghadapi permasalahan,
5. Memberi kemudahan dalam kerjasama teknis dan pembiayaan,
6. Meningkatkan kontribusi pangan,
7. Meningkatkan upaya perlindungan sumberdaya ikan,
8. Menggalakan bisnis Perikanan sesuai dengan hukum
9. Memajukan penelitian,

Enam (6) Topik yang diatur dalam Tatalaksana ini adalah


1. Pengelolaan Perikanan;
2. Operasi Penangkapan;
3. Pengembangan Akuakultur;
4. Integrasi Perikanan ke Dalam Pengelolaan Kawasan Pesisir;
5. Penanganan Pasca Panen dan Perdagangan
6. Penelitian Perikanan.

Prinsip-prinsip Umum Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)

1. Pelaksanaan hak untuk menangkap ikan bersamaan dengan kewajiban untuk
hak tersebut secara berkelanjutan dan lestari agar dapat menjamin keberhasilan upaya
konservasi dan pengelolaannya;
2. Pengelolaan sumber-sumber perikanan harus menggalakkan upaya untuk
mempertahankan kualitas, keanekaragaman hayati, dan ketersediaan sumbersumber
perikanan dalam jumlah yang mencukupi untuk kepentingan generasi sekarang dan yang
akan datang;
3. Pengembangan armada perikanan harus mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya
sesuai dengan kemampuan reproduksi demi keberlanjutan pemanfaatannya;
4. Perumusan kebijakan dalam pengelolaan perikanan harus didasarkan pada buktibukti
ilmiah yang terbaik, dengan memperhatikan pengetahuan tradisional tentang pengelolaan
sumber-sumber perikanan serta habitatnya;
5. Dalam rangka konservasi dan pengelolaan sumber-sumber perikanan, setiap
negara dan organisasi perikanan regional harus menerapkan prinsip kehati-hatian
(precautionary approach) seluas-luasnya;
6. Alat-alat penangkapan harus dikembangkan sedemikian rupa agar semakin selektif
dan aman terhadap kelestarian lingkungan hidup sehingga dapat mempertahankan
keanekaragaman jenis dan populasinya;
7. Cara penangkapan ikan, penanganan, pemrosesan, dan pendistribusiannya harus
dilakukan sedemikian rupa agar dapat mempertahankan nilai kandungan nutrisinya;
8. Habitat sumber-sumber perikanan yang kritis sedapat mungkin harus dilindungi dan
direhabilitasi;
9. Setiap negara harus mengintegrasikan pengelolaan sumber-sumber perikanannya
kedalam kebijakan pengelolaan wilayah pesisir;
10. Setiap negara harus mentaati dan melaksanakan mekanisme Monitoring,
Controlling and Surveillance (MCS) yang diarahkan pada penataan dan penegakan hukum
di bidang konservasi sumber-sumber perikanan;
11. Negara bendera harus mampu melaksanakan pengendalian secara efektif terhadap
kapal-kapal perikanan yang mengibarkan benderanya guna menjamin pelaksanaan
tata laksana ini secara efektif;
12. Setiap negara harus bekerjasama melalui organisasi regional untuk
mengembangkan cara penangkapan ikan secara bertanggungjawab, baik di dalam
maupun di luar wilayah yurisdiksinya;
13. Setiap negara harus mengembangkan mekanisme pengambilan keputusan secara
transparan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap pengembangan
peraturan dan kebijakan pengelolaan di bidang perikanan;
14. Perdagangan perikanan harus diselenggarakan sesuai dengan prinsip-prinsip, hak,
dan kewajiban sebagaimana diatur dalam persetujuan World Trade Organization
(WT-0);
15. Apabila terjadi sengketa, setiap negara harus bekerjasama secara damai untuk
mencapai penyelesaian sementara sesuai dengan persetujuan internasional yang
relevan;
16. Setiap negara harus mengembangkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya
konservasi melalui pendidikan dan latihan, serta melibatkan mereka di dalam
proses pengambilan keputusan;
17. Setiap negara harus menjamin bahwa segala fasilitas dan peralatan perikanan serta
lingkungan kerjanya memenuhi standar keselamatan internasional;
18. Setiap negara harus memberikan perlindungan terhadap lahan kehidupan nelayan kecil
dengan mengingat kontribusinya yang besar terhadap penyediaan kesempatan kerja,
sumber penghasilan, dan keamanan pangan;
19. Setiap negara harus mempertimbangkan pengembangan budidaya perikanan untuk
menciptakan keragaman sumber penghasilan dan bahan makanan. Sasaran-Sasaran Penting
Implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) di Indonesia

1. Fisheries management (pengelolaan perikanan)
• Memperhatikan prinsip kehati-hatian (precautionary approach) dalam
merencanakan pemanfaatan sumberdaya ikan.
• Menetapkan kerangka hukum – kebijakan.
• Menghindari Ghost Fishing atau tertangkapnya ikan oleh alat tangkap yang
terbuang / terlantar.
• Mengembangkan kerjasama pengelolaan, tukar menukar informasi antar
instansi dan Negara.
• Memperhatikan kelestarian lingkungan.

2. Fishing operations (Operasi Penangkapan).
• Penanganan over fishing atau penangkapan ikan berlebih.
• Pengaturan sistem perijinan penangkapan.
• Membangun sistem Monitoring Controlling Surveillance (MCS).

3. Aquaculture development (Pembangunan Akuakultur)
• Menetapkan strategi dan rencana pengembangan budidaya .
• Melindungi ekosistem akuatik.
• Menjamin keamanan produk budidaya.

4.Integration of fisheries into coastal area management (Integrasi Perikanan ke
dalam pengelolaan kawasan pesisir)

• Mengembangkan penelitian dan pengkajian sumberdaya ikan di kawasan
pesisir beserta tingkat pemanfaatannya.

5. Post-harvest practices and trade (Penanganan Pasca Panen dan
Perdagangan).

• Bekerjasama untuk harmonisasi dalam program sanitasi, prosedur sertitikasi dan
lembaga sertifikasi.
• Mengembangkan produk value added atau produk yang bernilai tambah.
• Mengembangkan perdagangan produk perikanan.
• Memperhatikan dampak lingkungan kegiatan pasca panen.

6. Fisheries research (Penelitian Perikanan)
• Pengembangan penelitian.
• Pengembangan pusat data hasil penelitian.
• Aliansi kelembagaan internasional.

Kewajiban Mengikuti Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)
1. Semua Negara yang memanfaatkan sumberdya ikan dan lingkungannya.
2. Semua Pelaku Perikanan (baik penangkap dan prosesing).
3. Pelabuhan-Pelabuhan Perikanan (kontruksi, pelayanan, inspeksi, dan pelaporan);
4. Industri disamping harus menggunakan alat tangkap yang sesuai.
5. Peneliti untuk pengembangan alat tangkap yang selektiv.
6. Observer program (pendataan diatas kapal).
7. Perikanan rakyat, perlu mengantisipasi dampak terhadap lingkungan dan
penggunaan energi yang efisien.

Kewajiban Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) Yang Harus Dipenuhi Oleh :

1. NEGARA

* Mengambil langkah precautionary (hati-hati) dalam rangka melindungi atau
membatasi penangkapan ikan sesuai dengan daya dukung sumber.
* Menegakkan mekanisme yang efektif untuk monitoring, control, surveillance
dan law enforcement .
* Mengambil langkah-langkah konservasi jangka panjang dan pemanfaatan
sumberdaya ikan yang lestari.

2. PENGUSAHA

* Supaya berperan serta dalam upaya-upaya konservasi, ikut dalam pertemuanpertemuan
yang diselenggarakan oleh organisasi pengelolaan perikanan(misalnya FKPPS).
* Ikut serta mensosialisasi dan mempublikasikan langkah-langkah konservasi dan
pengelolaan serta menjamin pelaksanaan peraturan.
* Membantu mengembangkan kerjasama (lokal, regional) dan koordinasi dalam
segala hal yang berkaitan dengan perikanan, misalnya menyediakan
kesempatan dan fasilitas diatas kapal untuk para peneliti.

3. NELAYAN

* Memenuhi ketentuan pengelolaan sumberdaya ikan secara benar.
* Ikut serta mendukung langkah-langkah konservasi dan pengelolaan.
* Membantu pengelola dalam mengembangkan kerjasama pengelolaan, dan
berkoordinasi dalam segala hal yang berkaitan dengan pengelolaan dan
pengembangan perikanan.


Pustaka : Urgensi Implementasi Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Dalam
Pengusahaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran DKP, 2003 serta Berbagai artikel dari beberapa paparan CCRF oleh Pemateri dari DKP. (Kendari, Nopember 2008)